Tapering adalah istilah yang semakin sering kita dengar dalam dunia keuangan, terutama saat bank sentral mulai mengurangi laju pembelian aset yang selama ini menjadi alat utama untuk mendorong perekonomian selama masa krisis.


Setelah bertahun-tahun pasar dibanjiri likuiditas melalui kebijakan moneter longgar, tapering menjadi sinyal perubahan arah menuju kebijakan yang lebih netral atau bahkan ketat.


Fenomena ini bukan sekadar perubahan teknis dalam kebijakan bank sentral. Bill Merz, Kepala Riset Pasar Modal di U.S. Bank Asset Management Group, menyatakan bahwa tapering adalah bagian dari upaya yang cermat untuk menyeimbangkan kekhawatiran inflasi dengan data ketenagakerjaan. Setiap pergeseran dalam laju pembelian aset bukan hanya soal angka, tetapi isyarat bagi pasar bahwa kondisi keuangan akan semakin diperketat.


Cara Kerja Tapering: Likuiditas Menyusut, Imbal Hasil Naik


Ketika bank sentral mulai mengurangi pembelian obligasi, dampak langsungnya adalah menurunnya permintaan dari pembeli besar yang selama ini tidak terlalu peduli soal harga. Akibatnya, harga obligasi turun dan imbal hasilnya naik. Ini bukan hanya memengaruhi pasar obligasi, tapi juga merambat ke semua jenis aset, termasuk saham dan pasar negara berkembang.


Di tahun 2025, tapering muncul di tengah tekanan inflasi yang masih tinggi dan ekspektasi suku bunga yang mulai bergeser. Investor mulai menuntut premi risiko yang lebih tinggi, karena imbal hasil riil meningkat. Kondisi keuangan pun menjadi lebih ketat, bahkan sebelum suku bunga resmi dinaikkan secara signifikan.


Perilaku Investor: Sentimen Lebih Dominan dari Fundamental


Dampak tapering tak hanya terlihat di grafik atau angka ekonomi, psikologi investor memainkan peran besar. Pasar sering kali bereaksi lebih kuat terhadap ekspektasi ketimbang kebijakan aktual. Di sinilah pentingnya komunikasi yang jelas dari bank sentral.


Jika tapering diumumkan secara bertahap dan transparan, pasar cenderung menyerapnya dengan tenang. Sebaliknya, jika pernyataan kebijakan terdengar reaktif atau membingungkan, volatilitas langsung melonjak. Hal ini terlihat jelas pada akhir 2024, ketika hanya sedikit perubahan kata dalam pernyataan resmi bank sentral mampu mengguncang pasar saham dan meningkatkan volatilitas obligasi.


Dampak pada Pasar Saham: Saham Teknologi Tertekan


Saham-saham, khususnya di sektor pertumbuhan seperti teknologi, sangat sensitif terhadap perubahan ekspektasi suku bunga. Ketika imbal hasil naik, biaya modal pun meningkat. Ini membuat proyeksi keuntungan masa depan menjadi kurang menarik jika dihitung dengan nilai sekarang. Akibatnya, rasio harga terhadap laba (P/E ratio) tertekan.


Namun, sektor-sektor defensif dan perusahaan yang menghasilkan arus kas stabil cenderung bertahan lebih baik. Dalam situasi seperti ini, investor mulai beralih ke saham yang lebih bernilai, memiliki durasi rendah, dan menawarkan pendapatan konsisten. Pergeseran ini sudah terlihat dalam beberapa bulan terakhir, di mana dana mulai mengalir dari saham berisiko tinggi ke aset yang lebih stabil.


Negara Berkembang: Risiko Arus Modal Keluar Meningkat


Bagi negara-negara berkembang, tapering bisa menjadi kabar buruk. Ketika imbal hasil di negara maju naik, investor global cenderung menarik dana mereka dari pasar yang lebih berisiko untuk dialihkan ke aset yang lebih aman dan memberikan hasil lebih tinggi. Akibatnya, nilai mata uang negara berkembang bisa tertekan, disertai dengan lonjakan inflasi dan kondisi keuangan yang lebih sulit.


Negara dengan defisit transaksi berjalan besar atau utang dalam mata uang dolar menjadi lebih rentan. Di tahun 2025, sejumlah negara berkembang mulai menghadapi tekanan pada obligasi pemerintah mereka, bukan karena masalah fundamental, tetapi sebagai dampak langsung dari pergeseran modal akibat tapering.


Pasar Valuta Asing: Dolar AS Menguat, Volatilitas Meningkat


Tapering juga cenderung memperkuat mata uang negara yang melakukan kebijakan tersebut, dalam hal ini, dolar AS. Dengan naiknya imbal hasil, modal asing masuk ke AS, mendorong penguatan mata uangnya. Sementara itu, negara lain harus menghadapi tekanan nilai tukar, yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan harga.


Volatilitas di pasar mata uang pun meningkat. Perubahan nilai tukar yang cepat dan sering kali dipicu oleh sentimen, membuat investor dan perusahaan multinasional menghadapi tantangan besar dalam melakukan lindung nilai dan mengelola risiko keuntungan.


Implikasi Strategis: Revisi Total Alokasi Aset Anda!


Dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian seperti sekarang, para investor perlu mengevaluasi ulang durasi portofolio, eksposur sektor, dan kebutuhan likuiditas. Strategi diversifikasi tradisional mungkin tidak lagi efektif jika saham dan obligasi sama-sama menghadapi tekanan.


Aset alternatif seperti properti, kredit jangka pendek, dan strategi dengan karakteristik konveksitas seperti long volatility, kini mulai dilirik. Tapering bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi transisi besar dari era uang mudah ke periode yang lebih menantang. Pasar harus belajar menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini.


Bagi Anda yang ingin tetap unggul di tengah ketidakpastian, kunci utamanya adalah pemahaman mendalam, kesiapan menghadapi perubahan, dan kemampuan membaca arah kebijakan bank sentral. Di dunia keuangan modern, ekspektasi bisa menggerakkan pasar lebih cepat daripada data fundamental. Maka dari itu, memantau bahasa kebijakan, menilai sensitivitas lintas aset, dan menjaga likuiditas menjadi strategi yang tak bisa ditawar lagi.