Gangguan stres pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan dua kondisi neurologis yang kompleks.
Meski keduanya berbeda, penelitian modern mengungkap bahwa keduanya memiliki dasar biologis yang kuat, baik dari sisi perubahan kimia otak maupun faktor genetik yang diwariskan.
Memahami mekanisme ini tidak hanya membuka tabir bagaimana gejala muncul, tetapi juga memberi harapan besar bagi pengembangan terapi yang lebih tepat sasaran.
PTSD bukan sekadar kondisi psikologis. Penelitian neurobiologi terkini membuktikan bahwa PTSD melibatkan perubahan mendalam pada sel otak dan jalur molekuler. Analisis genetik tingkat sel tunggal dari otak manusia pascakematian menunjukkan adanya perubahan signifikan pada neuron penghambat di korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC). Neuron ini biasanya berfungsi untuk mengendalikan aktivitas berlebih, namun pada penderita PTSD, komunikasi antar-neuron menjadi lemah. Kondisi ini membuat area DLPFC lebih mudah terangsang dan memicu gejala khas PTSD seperti mimpi buruk, rasa cemas berlebihan, hingga sulit mengendalikan emosi.
Selain itu, mikroglia, sel kekebalan otak, juga menunjukkan perilaku unik. Jika pada gangguan depresi mayor sel ini cenderung terlalu aktif, pada PTSD justru terjadi komunikasi yang melemah. Hal ini menandakan bahwa jalur peradangan pada PTSD berbeda, sehingga pengobatan yang digunakan pada depresi belum tentu efektif untuk PTSD. Penelitian Dr. Matthew Girgenti menegaskan bahwa memahami perubahan pada level sel, khususnya neuron penghambat dan sel endotel, dapat menjadi kunci lahirnya terapi presisi yang sesuai dengan tanda biologis spesifik PTSD.
Paparan trauma memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol dan neurotransmiter seperti glutamat serta norepinefrin. Zat kimia ini kemudian merombak jalur saraf, terutama pada amigdala, pusat pemrosesan rasa takut di otak. Amigdala yang terlalu aktif membuat respon rasa takut menjadi berlebihan, bahkan ketika tidak ada ancaman nyata. Kondisi ini memperkuat gejala kecemasan, mudah terkejut, hingga kesulitan tidur.
Lebih jauh, amigdala yang hiperaktif juga mengganggu hubungan dengan hipokampus (pusat memori) dan korteks prefrontal (pusat pengendalian diri). Akibatnya, penderita PTSD sering mengalami masalah memori, kesulitan berkonsentrasi, dan kegagalan dalam meredam emosi negatif. Menurut ahli neurofarmakologi Brian Baldo, memahami bagaimana zat kimia stres merusak jalur amigdala membuka peluang baru untuk terapi farmakologis yang dapat menghentikan pola maladaptif ini.
Selain kortisol dan glutamat, penderita PTSD juga menunjukkan ketidakseimbangan pada serotonin dan dopamin. Serotonin berperan penting dalam mengatur suasana hati, sementara dopamin berkaitan dengan motivasi serta fungsi kognitif. Gangguan pada kedua sistem ini diduga kuat menjadi penyebab munculnya gejala tambahan seperti depresi, sulit fokus, hingga penurunan daya ingat kerja. Inilah alasan mengapa PTSD sering tumpang tindih dengan gangguan mood lain.
Pengetahuan baru mengenai perubahan biologis pada PTSD membuat dunia medis menyadari keterbatasan antidepresan konvensional. Obat-obatan yang tersedia saat ini belum dirancang untuk menyasar neuron penghambat, sel endotel, atau pola mikroglia yang berubah. Karena itu, penelitian kini berfokus pada medisin presisi dengan tujuan mengembalikan keseimbangan eksitasi-inhibisi, memperbaiki fungsi sel endotel, serta menormalkan aktivitas amigdala. Terapi neuromodulasi dan pendekatan farmakologis yang lebih spesifik menjadi arah baru yang menjanjikan.
Berbeda dengan PTSD yang banyak dipicu trauma, Autism Spectrum Disorder (ASD) lebih erat kaitannya dengan genetika. Penelitian besar-besaran yang melibatkan jutaan orang menunjukkan bahwa 50–90% risiko autisme bersumber dari faktor keturunan. Studi internasional bahkan memperkirakan sekitar 80% risiko berasal dari gen yang diwariskan, sementara sisanya dipengaruhi mutasi spontan atau faktor lingkungan kecil.
Yang menarik, autisme bukan hasil dari satu gen tunggal, melainkan mosaik genetik. Ratusan hingga ribuan gen dapat berkontribusi, dan kombinasi unik tiap individu menentukan apakah gejala muncul atau tidak. Beberapa mutasi baru yang disebut de novo mutation muncul secara spontan tanpa diwariskan, tetapi mayoritas risiko tetap berasal dari gen keluarga.
Ilmu genomik terbaru mengungkap bahwa autisme tidak bisa dipandang sebagai satu kondisi yang seragam. Ada berbagai subtipe biologis dengan jalur genetik berbeda-beda. Beberapa lebih kuat dipengaruhi faktor keturunan, sementara lainnya lebih sering dipicu mutasi genetik baru. Inilah sebabnya pengalaman setiap individu dengan autisme sangat bervariasi, mulai dari tingkat fungsi tinggi hingga memerlukan dukungan penuh dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian tahun 2025 bahkan menemukan gen baru bernama DDX53 yang berhubungan dengan ASD. Penemuan ini menjadi langkah penting menuju diagnosis yang lebih akurat serta konseling genetik yang lebih efektif. Dr. Joseph Buxbaum menegaskan bahwa meski mutasi spontan berperan, pewarisan genetik tetap menjadi faktor dominan. Sementara itu, Dr. Jennifer H. Foss-Feig menyoroti pentingnya memahami subtipe autisme agar terapi dapat lebih dipersonalisasi.
Meski genetika memegang peran besar, faktor lingkungan dan biologi lain juga ikut berinteraksi. Gen sering bekerja layaknya puzzle: satu potongan genetik mungkin tidak berpengaruh, tetapi ketika berpadu dengan potongan lain, barulah gejala muncul. Inilah yang membuat autisme begitu beragam dan menarik untuk diteliti. Setiap individu dengan autisme membawa jejak genetik unik, yang jika dipahami dengan baik, dapat membantu merancang pendekatan terapi yang lebih personal.
PTSD dan autisme sama-sama menunjukkan bahwa gangguan neurologis tidak bisa lagi dipandang semata dari sisi psikologis. PTSD memperlihatkan perubahan nyata pada sel otak, kimia saraf, serta jalur stres, sedangkan autisme terbukti sangat dipengaruhi faktor keturunan dengan mosaik genetik yang kompleks.
Kemajuan ilmu ini memberi harapan besar. Dengan memahami dasar biologis secara lebih rinci, dunia medis dapat melahirkan terapi yang lebih tepat sasaran, personal, dan efektif. Baik dalam menenangkan otak yang dilanda trauma maupun mendampingi individu dengan autisme, langkah menuju masa depan perawatan yang lebih manusiawi kini semakin nyata.